Selasa, 30 April 2013

MANDI DALAM PANDANGAN 5 MADZHAB

INSTITUTE OF MA'HAD  ALY SA'IDUSSIDDIQIYAH
fuad zein malizy
jakarta 30 april
BAB I

PENDAHULUAN

Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Segala puji bagi allah yang telah memberikan keunggulan melebihi semesta alam dengan ilmu dan amal. Rahmat Allah semoga tetap tercurahkan atas nabi Muhammad SAW, sebagai penghulu bangsa arab dan ajam, para keluarga dan sahabat-sahabatnya yang menjadi sumber ilmu pengetahuan dan ilmu hikmah.
          Fiqih itu adalah sebuah lautan yang tidak diketahui tepinya, oleh karna itu dalam satu permasalahan saja dapat berkembang dan bercabang-cabang menjadi sangat banyak. Dan memiliki beberapa pendapat yang sangat ragam diantara berbagai madzhab, bahkan bisa terjadi perbedaan pendapat diantara ulama ahli fiqih dalam satu madzhab saja. Disini akan kami paparkan masalah perbedaan pengertian mandi serta hal-hal yang terkait dengan mandi, dalam lingkup empat atau lima madzhab semampu kami.



















BAB II

PEMBAHASAN

A.   Definisi Mandi dan Beberapa Hal yang Mewajibkan Mandi
Definisi Mandi
Secara etimologi mandi (al-ghusl) adalah mengalirnya air pada sesuatu (perbuatanya), apabila kita mengatakan al-ghisl maka yang di maksud adalah istilah (nama) dari sesuatu yang digunakan untuk mencuci, adapun al-ghasl yaitu istilah yang digunakan untuk air. Sedangkan menurut tertimologi mandi yaitu mengalirnya air pada seluruh tubuh dengan niat tertentu.
Hal hal yang Mewajibkan Mandi
          yaitu keluarnya sperma, bertemunya dua kelamin, haid dan nifas, meninggal dunia, dan orang kafir yang memeluk agama islam. Dan disini kita akan memaparkan satu persatu tentang hal hal yang mewajibkan mandi dari pengikut 5 madzhab yaitu Hambaliah, Syafi’iyah, Hanafiah, Malikiyah, dan Imamiyah.
1.      Keluar mani
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
            Keluarnya air mani seseorang dibagi dua:
a. Air mani itu keluar kektika dalam keadaan bangun.
          Adapun air mani yang keluar ketika dalam kaedaan bangun selain yang di sebabkan karena jimak, adakalanya keluar dengan merasakan nikmat dan adakalanya keluar karena  di sebabkan penyakit. Air mani yang keluar dengan merasakan kenikmatan maka wajib mandi. Sedangkan apabila keluarnya itu karena suatu penyakit atau terlalu keras memukul tulang sulbi dan sebagainy, maka hal itu tidak mewajibkan mandi. Akan tetapi masing masing hukum ini terdapat perincian dari berbagai madzhab.
Imamiah dan Syiafi’iyah : kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, baik keluarnya karena syahwat maupun tidak, yang mana air mani  tersebut disyaratkan betul betul berwujud mani setelah keluarya.
Hambaliah : mereka berpendapat, wajibnya  mandi itu tidak di syaratkan keluarnya mani secara betul betul, akan tetapi syaratnya adalah orang  tersebut merasa melepaskan (mengeluarkan air maninya) baik dari tulang sulbinya (laki laki), ataupun dari tulang dadanya (perempuan), walaupun air mani itu tidak sampai keluar dari kubulnya. Kesimpulannya bahwa Hambaliah mensyaratkan adanya rasa nikmat, tidak mensyaratkan keluar dari kubul, akan tetapi syaratnya yaitu, terlepasnya air mani dari tempat asalnya
Hanafiyah : merekaa mewajibkan mandi apabila air mani itu keluar dari tempat asalnya, dan keluar dari dzakarnya dengan merasakan nikmat.
Malikiyah :  wajib mandi apabila air mani itu keluar setelah hilangnya rasa nikmat yang biasa tanpa nikmat.
b. Air mani itu keluar ketika dalam keadaan tidur.
          Keluarnya air mani dari kelaminya (kubulnya) ketika dalam keadaan tidur, atau biasa disebut ikhtilam (mimpi), maka ia wajib mandi.
Syafi’iyah : apabila ada sebuah keraguan, yang keluar itu berupa air Mani atau air Mazdi, maka tidak harus mandi,
Hambaliah : apabila ada sebuah keraguan, yang keluar itu berupa air Mani atau air Mazdi, maka jika sebelum tidurnya itu terdapat sebab yang dapat menimbulkan rasa nikmat, maka ia tidak wajib mandi, dan akan tetapi jika sebelum tidurnya itu tidak ada suatu sebab yang dapat menimbulkan rasa nikmat, maka ia wajib mandi
2. bertemunya dua kelamin
Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh), yaitu memasukkan ke­pala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj (kemaluan) atau anus, maka semua ulama mazhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ

Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.”

Hanafi: Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu:
Pertama, baligh.  Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baligh saja, dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak wajibkan mandi.
Kedua, harus tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan.
Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukkan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan mandi.
Imamiyah dan Syafi’yahi: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja juga belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada batas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.
Hambali dan Maliki: Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah meniggal. Kalau yang telah baligh, Maliki: Bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang disetubu­hi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetu­buhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya sudah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani.  Hambali: Mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetu­buhi itu umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun, bagi wanita yang disetubuhi itu tidak kurang dari sembilan tahun
3. karena darah haidz atau nifas
A. Pengertian Darah Haid (kotoran)
          Yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan, yang telah sampai umur (baligh), dan di sepakati oleh semua madzhab, jika wanita  melihat bahwa pada dirinya terdapat darah haid, maka ia wajib mandi setelah darah itu habis.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي وَصَلِّيْ
“Jika telah tiba masa haidhmu maka tinggalkan shalat, dan bila selesai masa haidmu maka mandilah kemudian shalatlah.” (HR. Bukhari)
 B. Pengertian darah Nifas
Yaitu darah yang keluar dari rahim perempun sesudah ia melahirkan anak, dan menurut semua madzhab, maka wajib mandi.
Hanabilah : Jika ada orang  yang melahirkan  tanpa mengelurkan darah maka ia tidak wajib mandi.
4. Meninggal dunia
Meninggalnya seorang muslim wajib dimandikan, kecuali kalau Ia meninggal dalam keadaan syahid. Dan orang yang wajib memandikan orang yang mati adalah orang yang masih hidup. Jumhur ulama (mayoritas) menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.
Dalil mengenai wajibnya memandikan si mayit diantaranya adalah perintah Nabi  SAW  kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita  yang melayat untuk memandikan anaknya,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Hanafiah : mereka berpendapat bahwa, dalam memandikan mayat seorang muslim itu disyaratkan hendaknya orang tersebut tidak durhaka.
5. Orang kafir yang memeluk agama islam
Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Beliau masuk Islam, lantas Nabi SAW  memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits  ini shahih).
Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hambaliah, Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Al Khottobi

Hambaliah : mereka berpendapat bahwa apabila seorang kafir masuk islam, maka ia  wajib mandi, baik orang itu dalam keadaan junub ataupun tidak.

B.   Hal yang haram dilakukan oleh orang junub
          Bagi seorang yang junub, diharamkan melakukan suatu perbuatan yang bersifat syar’iyah yang tergantung  kepada wudhu’ sebelum orang tersebut mandi, adapun hal hal yang tidak di perbolehkan ketika sedang junub adalah: mengerjakan shalat, thawaf, menyentuh,membawa dan membaca Al –Quran, berikut adalah penjelasan lebih rinci.
1.      Mengerjakan shalat
Semua mazdhab berpendapat bahwasanya orang yang mempunyai hadats besar (junub) haram melakukan shalat, baik shalaf fardlu maupun shalat sunnah.
2.      Membaca dan menyentuh  Al-Quran
          Diantara perbuatan- perbuatan yang bersifat keagamaan yang tidak boleh dilakukan oleh orang junub adalah : membaca Al-Quran, maka orang tersebut diharam membaca Al-Qur’an apabila dia dalam keadaan junub, diharamkan juga menyentuh mushaf, apa lagi karena menyentuh mushaf itu tidak dihalalkan tanpa mempunyai wudu’, walaupun orang tersebut tidak junub
Malikiyah : seorang yang junub itu tidak boleh membaca Al-Qur’an kecuali dua syarat:
Pertama : Orang tersebut membaca sedikit dari Al-Qur’an.
Kedua : membacanya dalam dua hal, yang pertama, dengan membaca Al-Qur’an itu Ia bermaksud untuk membentengi diri dari musuh, dan yang kedua,  dengan membaca al-Qur’an Ia bermaksud untuk menjadikannya sebagai dalil hukum syar’i.
Hanafiah : seorang yang junub, diharamkan membaca al-Qur’an, baik sedikit maupun banyak kecuali dalam dua hal:
Pertama : untuk memulai suatu perkara yang sangat penting dengan menggunakan  basmalah
Kedua : membaca ayat qashirah (ayat pendek) untuk mendoakan seseorang.
Syafi’iyah : seorang yang junub itu di haramkan membaca Al-qur’an walaupun satu huruf, bila ia bermaksud untuk membacanya, sedangkan apabila ia bermaksud untuk dzikir, maka tidak di haramkan.
Hambalilah : seorang yang ber berhadats besar tanpa ada suatu udzur dibolehkan  membaca Al-Qur’an yang tidak lebih dari sekedar ayat pendek, dan di haramkan membaca lebih dari itu.
Imamiyah: Tidak diharamkan membaca al-Qur’an kecuali membaca surat Al-Zaim yang empat walau hanya sebagian, yaitu Iqra, Al-Nazam, Hamim Al Sajadah, dan Alif lam mim tanzil



3.      Berdiam diri di dalam masjid
          Bagi seseorang yang junub diharamkan masuk berdiam diri di masjid, akan tetapi syari’ telah memberikan (rukhshah) bagi seorang junub masuk ke dalam masjid dengan syarat syarat yang dapat dikemukakan secara rinci menurut  pendapat dari berbagai madzhab.
Malikiyah : diharamkan bagi orang yang junub untuk berdiam diri di dalamnya atau menjadikannya sebagai jalan untuk di lewati, akan tetapi di perbolehkan masuk ke dalam masjid dalam dua hal:
Pertama : orang itu tidak mendapatkan air untuk mandi, kecuali di dalam masjid dan ia tidak mendapatkan jalan lain untuk dilewati kecuali masjid
Kedua : Ia khawatir terkena penyakit dan tidak mendapatkan tempat lain selain masjid, maka ia diperbolehkan bertayamum dan masuk masjid hingga rasa takutnya hilang.
Hanafiyah : diharamkan pula bagi seorang yang junub masuk kedalam masjid kecuali dalam keadaaan darurat, dan kadar darurat dalam hal ini adalah menurut ukuran yang pantas, dan diantara hal yang di perbolehkan seorang yang junub masuk masjid adalah bila seseorang terpaksa memasuki masjid itu di sebabkan adanya kekhawatiran akan terkena suatu bahaya ,
Syafi’iyah : seorang yang junub atau wanita yang sedang  haid atau nifas boleh melewati masjid tanpa berhenti, diam di dalam nya dan tidak pula mondar mandir di dalam nya, dengan syarat masjid tersebut terjaga dari kotoran
Hambaliah : seorang yang  junub boleh lewat di masjid dan mondar mandir tanpa berhenti dan diam di dalamnya, dan juga di perbolehkan orang yang junub tinggal di masjid dengan berwudhu’ terlebih dahulu, walau bukan dalam keadaan darurat.

C.   Macam Macam Mandi Sunah
Setelah terpaparnya hal-hal yang mewajibkan mandi (mandi wajib), maka ada pula yang dinamakan mandi sunah diantaranya yaitu: Mandi jum’at, mandi pada hari raya idul fitri dan adha, mandi setelah memandikan mayit, mandi ihram, mandi ketikah hendak masuk makah, mandi ketika hendak wukuf.

1.                  Mandi Jumat
          Dalam hadist Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أتى الجمعة من الرجال والنساء فليغتسل ومن لم يأتها فليس عليه غسل من الرجال والنساء
Barangsiapa menghadiri shalat Jum’at baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan yang tidak menghadirinya , baik laki-laki maupun perempuan, maka ia tidak punya keharusan untuk mandi”. (HR. Al Baihaqi, An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih).” Demikian nukilan dari An Nawawi

Malikiyah:Mandi pada hari jum’at yaitu  bagi orang yang hendak melakukan sholat jumat, walaupun sholat jumat tersebut tidak wajib baginya. Mandinya dilakukan pada waktu fajar, dan berhubungan dengan berangkat ke masjid jami’.
Hanafiyah: Mandi pada hari jumat yaitu mandi untuk kepentingan shalat jumat, bukan untuk kepentingan hari jum’at.
Syafi’iyah: Mandi pada hari jumat bagi orang yang hendak menghadiri sholat jumat, waktu disunahkan mandi dari terbitnya fajar shadiq sampai imam shalat jumat selesai mengucapkan salam.
Hambaliah: Mand itui untuk melakukan sholat jumat, bukan atas hari jum’at.

2.    Mandi pada Hari Raya ‘Idul Fitri dan Adha
     Dari Fakih bin Sa’di. sesungguhnya Nabi Saw mandi  pada hari jum'at, hari Arafah, hari Raya Fitri, hari raya Haji.(H.R. Abdullah Bin Ahmad).
 Malikiyah: Mandi pada dua hari raya bukan hanya untuk kepentingan shalat hari raya, tetapi juga untuk kepentingan hari raya, jadi orang yang tidak sholat ‘ied pun disunnahkan mandi, waktu mandi yaitu mulai dari seperenam terakhir dari malam, dan sunah  dilakukan setelah terbitnya fajar pada hari raya.
Hanafiyah:  Mandi pada hari raya yaitu untuk kepentingan shalat ‘ied, bukan untuk kepentingan hari ‘ied.
Syafi’iyah: Mandi pada hari raya tidak hanya untuk sholat ‘ied,  tetapi juga untuk berhias (jika ia tidak mengikuti shalat ‘ied), waktu disunnahkan mandi yaitu dari pertengahan hari raya hingga terbenamnya matahari pada hari itu.
Hambaliyah: Mandi pada hari raya adalah untuk kepentingan shalat ‘ieed bukan untuk kepentingan hari raya, oleh sebab itu tidak sah baginya mandi sebelum fajar ataupun setelah shalat ‘ied.
3.    Mandi Setelah Memandikan Mayat.
Malikiyah: Mandi setelah memandikan mayit adalah mandub.
Hanafiyah: sama halnya Malikiyah berpendapat mand setelahi memandikan maayit yaitu mandub.
Syafi’iyah: Mandi setelah memandikan mayit yaitu sunnah, baik yang memandikan itu masih dalam keadaan suci ataupun tidak. Waktu disunnahkan yaitusetelah memandikan mayit hingga hingga hendak meninggalkanya, yang sama hukumnya dengan memandikan mayit yaitu mentayamumkan mayit.
Hambaliyah: mandi bagi orang yang selesai memandikan mayit adalah sunnah.
4.    Mandi Ihram
Malikiyah: Mandi untuk melakukan ikhram, sampai wanita dalam keadaan haid dan nifas pun sunnah.
Hanafiyah: Mandi ketika ihram baik ketika haji maupun ikhram.
Syafi’iyah : Mandi ketika ihram tidak ada perbedaan baik laki-laki, kecil atau besar (baligh), perepuan yang haid atau niaas maa hukumnya sunah.
Hanbali: Mandi ketika hendak ihram baik pada waktu haji maupun umrah hukumnya sunah.
5.      Mandi ketika Hendak Masuk Makah
Malikiyah: mandi ketika masuk makah yaitu mandi untuk melaksanakan thawaf. Oleh sebab itu, tidak disunnahkan (nadb) bagi wanita yang sedang haid atau sedang nifas.
Hanafiyah: mandi ketika masuk makkah untuk melaksanakan thawaf ziarah.
Syafi’iyah: Mandi ketika masuk makah tidak dibedakan antara orang yang hendah ihram haji atau orang yang hendak ihram umrah atau yang tidak menghendaki ihram sama sekali.
Hambaliyah: mandi ketika hendak masuk makah disunahkan. 


6.    Mandi Ketika Hendak Wukuf
Malikiyah: Mandi ketika wukuf di arafah , maka mandi itu disunahkan (mustahabb) bagi wanita yang sedang haidh dan nifas.
Hanafiyah: Mandi ketika hendak wukuf di arafah juga sunah.
Syafi’iyah:  Waktu mandi ketika wukuf di arafah adalah mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari pada hari arafah.
Hambaliah: Mandi ketika hendak wukuf  di arafah hukumnya sunah.



























BAB III

PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan memngenai materi-meteri yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kelemahan dan kekuranganya, karena terbatasnya pengetahuan dan kuranganya rujukan atau referensi yang ada  dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat  memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan-kesempatan berikutnya.
               Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.





DAFTAR PUSTAKA

1.                            Jawad mughniyah muhammad, fiqih lima madzhab, Jakarta ,  LENTERA BASRITAMA, 2004.
2.                            Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqh empat madzhab, Bandung, HASYIMI, 2010.
3.                            Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Khusaini, Kifayatul akhyar, Surabaya, BINA IMAN.2007
4.                            Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqih empat madzhab, Jakarta, DARUL ULUM PRESS.2010


1 komentar:

  1. Mens Titanium Rings, 5-8mm Stainless Ring
    The Mens 벳 365 ring allows you to replace and replace your broken titanium titanium build for kodi ring with a ring. apple watch titanium This titanium build for kodi means that you can insert this ring or ring on your Mens rings can also be used trekz titanium pairing for free.

    BalasHapus